Sejak terjadi kasus penghinaan surah Al-Maidah: 51, masyarakat tampaknya mulai merasa memiliki kepentingan dalam menjaga ad-Diin al-Islam dari serangan jahat orang-orang yang membencinya. Baik membenci agamanya, maupun pemeluknya.
Terbukti dari pembelaan mereka terhadap persekusi-persekusi kajian keislaman dan kriminalisasi ulamanya yang kerap ditemui diberbagai daerah di nusantara.
Bahkan, ketika menghadapi carut marutnya negri ini dibawah kungkungan pemimpin sekular, masyarakat yang tersadarkan akan kebutuhan peran ulama dalam menerapkan Islam sebagai pengatur tata kehidupan, sangat lantang mereka bersuara agar ulama menjadi calon pemimpin yang diharapkan dapat membawa perubahan bagi Indonesia.
Belakangan, kabarnya masyarakat mulai ramai-ramai mencanangkan Ustadz Abdul Somad untuk maju ke panggung politik dengan menjadi cawapres salah satu calon presiden dari partai Gerindra, Prabowo Subianto.
Tak pelak, hal ini mengundang gelindingan isu terbaru yang membuat publik dilema dan bertanya "Kemana arah peran ulama sesungguhnya?"
Muncullah "a new statement" yang memberikan sinyal agar ulama tak berkecimpung di ranah politik. Sebab menurut mereka politik itu kotor sedang agama itu suci. Perlahan dalang pemegang kendali opini negri ini menggiring publik agar memposisikan ulama hanya sebatas penceramah dan pemberi nasihat.
Inkonsistensi ini yang akhirnya membuat masyarakat yang tersadarkan berfikir jeli. Jika kajian keislaman saja sering dibubarkan, dakwah sering dijegal, ulamanya sering di fitnah, umat Islam dibuat tertekan, namun disisi lain ketika masyarakat menginginkan peran ulama diperluas (tak sekedar dalam aktivitas dakwah) muncullah statement yang menyempitkan eksistensi peran ulama, inikah pertanda gejala mental pengecut merasuki para penguasa boneka barat?
Tak ada yang mendha'ifkan. Barat adalah negara adikuasa yang mempunyai kekuasaan lebih di percaturan politik internasional baik dalam mempengaruhi peristiwa-peristiwa global maupun lebih jauh mengambil keputusan dalam proyek-proyek internasional. Setiap penguasa boneka yang sengaja dipasang untuk berhadapan langsung dengan masyarakat pasti tunduk dan patuh dengannya.
Musuh-musuh Islam sangat hafal, bahwa eksistensinya akan sirna tatkala umat Islam sedikit-demi sedikit mulai bangkit. Maka segala upaya asasi untuk meredamnya adalah dengan menggelindingkan bola isu yang mengalihkan umat Islam dari upaya-upaya kebangkitan.
Maka, sudah seeloknya ulama hari ini melakukan reposisi atas peran utamanya. Ulama harus sadar, bahwa keberadaannya adalah pewaris para nabi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu ‘anhu)
Sebagaimana Rasulullah memberi teladan, peran seorang nabi bukanlah sekedar mendakwahkan Islam melalui kajian-kajian. Tapi juga ikut serta dalam berpolitik yang dalam Islam maknanya melakukan ri'ayatus syu'unil ummah, mengurusi urusan ummat, menyelamatkan sebuah negri yang didalamnya merebak berbagai kemaksiyatan agar berubah menjadi 'baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur' dengan regulasi Islam dalam undang-undang negara.
“Wajib diketahui bahwa kepemimpinan yang mengurus urusan manusia termasuk kewajiban agama yang paling besar, bahkan agama dan dunia tidaklah tegak kecuali dengannya. Segala kemaslahatan manusia tidaklah sempurna kecuali dengan memadukan antara keduanya, di mana satu sama lain saling menguatkan." (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyyah, Hal. 169. Mawqi’ Al Islam)
Berpolitik seperti apakah yang harus dilakukan oleh para ulama? Tentunya berpolitik ala Islam yang mengikuti Rasulullah yang setiap langkah dan keputusannya merupakan interpretasi penunjukan wahyu, bukan politik praktis ala demokrasi yang sarat akan intrik. Karena dalam demokrasi, korelasi yang terjalin antar individu maupun antar kelompok adalah 'koalisi pebisnis' yang akan langgeng jika ada kepentingan & keuntungan didalamnya.
Menelaah perjalanan dakwah Rasulullah SAW, secara historis beliau bukan hanya melakukan pembinaan intensif kepada para sahabat untuk menguatkan aqidah dan keimanan mereka, tapi juga terus melakukan aktivitas politik berupa pergolakan pemikiran ditengah-tengah ummat, membenturkan fakta bobroknya sistem jahiliyah yang dipertahankan para pembesar Qurays pada waktu itu dan secara bersamaan menggambarkan sistem tata aturan Islam dalam mengatur manusia.
Tak berhenti disana. Ketika dakwah pada saat itu belum berhasil dilakukan di Makkah, hijrah ke Madinah adalah langkah berikutnya yang diambil Rasulullah untuk menyelamatkan para pemeluk Islam dari kalangan muhajirin dan mendirikan Daulah Islam pertama dengan Rasulullah sebagai pemimpinnya.
"Sepanjang sejarah kaum muslimin tidak pernah mengenal adanya pemisahan antara agama dan dunia, agama dan politik, atau agama dan Negara seperti sekarang ini. Dulu, Rasulullah adalah pemegang kekuasaan baik agama maupun dunia, karena itu fuqaha kemudian membagi ajaran dan sikap Rasulullah menjadi tiga. Pertama. Beliau sebagai Nabi yang menyampaikan wahyu Allah. Kedua. Beliau sebagai hakim yang membuat keputusan hukum. Ketiga. Beliau sebagai kepala Negara yang menangani persoalan bangsa.” (Meluruskan Dikotomi Agama Dan Politik, Hal. 143. Pustaka Al Kautsar)