Senin, 20 Agustus 2018

Reposisi peran ulama dalam sistem demokrasi

Sejak terjadi kasus penghinaan surah Al-Maidah: 51, masyarakat tampaknya mulai merasa memiliki kepentingan dalam menjaga ad-Diin al-Islam dari serangan jahat orang-orang yang membencinya. Baik membenci agamanya, maupun pemeluknya.

Terbukti dari pembelaan mereka terhadap persekusi-persekusi kajian keislaman dan kriminalisasi ulamanya yang kerap ditemui diberbagai daerah di nusantara.

Bahkan, ketika menghadapi carut marutnya negri ini dibawah kungkungan pemimpin sekular, masyarakat yang tersadarkan akan kebutuhan peran ulama dalam menerapkan Islam sebagai pengatur tata kehidupan, sangat lantang mereka bersuara agar ulama menjadi calon pemimpin yang diharapkan dapat membawa perubahan bagi Indonesia.

Belakangan, kabarnya masyarakat mulai ramai-ramai mencanangkan Ustadz Abdul Somad untuk maju ke panggung politik dengan menjadi cawapres salah satu calon presiden dari partai Gerindra, Prabowo Subianto.
Tak pelak, hal ini mengundang gelindingan isu terbaru yang membuat publik dilema dan bertanya "Kemana arah peran ulama sesungguhnya?"

Muncullah "a new statement" yang memberikan sinyal agar ulama tak berkecimpung di ranah politik. Sebab menurut mereka politik itu kotor sedang agama itu suci. Perlahan dalang pemegang kendali opini negri ini menggiring publik agar memposisikan ulama hanya sebatas penceramah dan pemberi nasihat.

Inkonsistensi ini yang akhirnya membuat masyarakat yang tersadarkan berfikir jeli. Jika kajian keislaman saja sering dibubarkan, dakwah sering dijegal, ulamanya sering di fitnah, umat Islam dibuat tertekan, namun disisi lain ketika masyarakat menginginkan peran ulama diperluas (tak sekedar dalam aktivitas dakwah) muncullah statement yang menyempitkan eksistensi peran ulama, inikah pertanda gejala mental pengecut merasuki para penguasa boneka barat?

Tak ada yang mendha'ifkan. Barat adalah negara adikuasa yang mempunyai kekuasaan lebih di percaturan politik internasional baik dalam mempengaruhi peristiwa-peristiwa global maupun lebih jauh mengambil keputusan dalam proyek-proyek internasional. Setiap penguasa boneka yang sengaja dipasang untuk berhadapan langsung dengan masyarakat pasti tunduk dan patuh dengannya.

Musuh-musuh Islam sangat hafal, bahwa eksistensinya akan sirna tatkala umat Islam sedikit-demi sedikit mulai bangkit. Maka segala upaya asasi untuk meredamnya adalah dengan menggelindingkan bola isu yang mengalihkan umat Islam dari upaya-upaya kebangkitan.

Maka, sudah seeloknya ulama hari ini melakukan reposisi atas peran utamanya. Ulama harus sadar, bahwa keberadaannya adalah pewaris para nabi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu ‘anhu)

Sebagaimana Rasulullah memberi teladan, peran seorang nabi bukanlah sekedar mendakwahkan Islam melalui kajian-kajian. Tapi juga ikut serta dalam berpolitik yang dalam Islam maknanya melakukan ri'ayatus syu'unil ummah, mengurusi urusan ummat, menyelamatkan sebuah negri yang didalamnya merebak berbagai kemaksiyatan agar berubah menjadi 'baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur' dengan regulasi Islam dalam undang-undang negara.

“Wajib diketahui bahwa kepemimpinan yang mengurus urusan manusia termasuk kewajiban agama yang paling besar, bahkan agama dan dunia tidaklah tegak kecuali dengannya. Segala kemaslahatan manusia tidaklah sempurna kecuali dengan memadukan antara keduanya, di mana satu sama lain saling menguatkan." (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyyah, Hal. 169. Mawqi’ Al Islam)

Berpolitik seperti apakah yang harus dilakukan oleh para ulama? Tentunya berpolitik ala Islam yang mengikuti Rasulullah yang setiap langkah dan keputusannya merupakan interpretasi penunjukan wahyu, bukan politik praktis ala demokrasi yang sarat akan intrik. Karena dalam demokrasi, korelasi yang terjalin antar individu maupun antar kelompok adalah 'koalisi pebisnis' yang akan langgeng jika ada kepentingan & keuntungan didalamnya.

Menelaah perjalanan dakwah Rasulullah  SAW, secara historis beliau bukan hanya melakukan pembinaan intensif kepada para sahabat untuk menguatkan aqidah dan keimanan mereka, tapi juga terus melakukan aktivitas politik berupa pergolakan pemikiran ditengah-tengah ummat, membenturkan fakta bobroknya sistem jahiliyah yang dipertahankan para pembesar Qurays pada waktu itu dan secara bersamaan menggambarkan sistem tata aturan Islam dalam mengatur manusia.

Tak berhenti disana. Ketika dakwah pada saat itu belum berhasil dilakukan di Makkah, hijrah ke Madinah adalah langkah berikutnya yang diambil Rasulullah untuk menyelamatkan para pemeluk Islam dari kalangan muhajirin dan mendirikan Daulah Islam pertama dengan Rasulullah sebagai pemimpinnya.

"Sepanjang sejarah kaum muslimin tidak pernah mengenal adanya pemisahan antara agama dan dunia, agama dan politik, atau agama dan Negara seperti sekarang ini. Dulu, Rasulullah adalah pemegang kekuasaan baik agama maupun dunia, karena itu fuqaha kemudian membagi ajaran dan sikap Rasulullah menjadi tiga. Pertama. Beliau sebagai Nabi yang menyampaikan wahyu Allah. Kedua. Beliau sebagai hakim yang membuat keputusan hukum. Ketiga. Beliau sebagai kepala Negara yang menangani persoalan bangsa.” (Meluruskan Dikotomi Agama Dan Politik, Hal. 143. Pustaka Al Kautsar)

Jumat, 17 Agustus 2018

APBN ditopang pajak: Negara diambang kehancuran!

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan bahwa tahun depan pendapatan negara akan menembus Rp2.000 triliun untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Prediksi itu berdasarkan target kenaikan sebesar 15% atas target penerimaan tahun ini sebesar Rp 1.903,8 triliun.
Beliau menjelaskan, bahwa penerimaan tersebut ditopang oleh penerimaan Negara Bukan Pajak dari harga minyak yang meningkat dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar. 
Hal ini tentu memberikan kesimpulan bahwa kepatuhan masyarakat terhadap pembayaran pajak tergolong rendah. mengacu pada penjelasan Menteri keungan mengenai penerimaan pajak tahun ini sendiri yang masih mengalami shortfall, atau kurang dari target, hanya 95,69% dari target Rp1.618,1 triliun. (BBC.com, 20/07/2018)
Berdasarkan penjelasan Kemenkeu, Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Oleh karena itu, pajak sangat dominan dalam menopang pembangunan nasional. Maka tak heran jika urusan pajak adalah urusan paling sensitif ketika targetnya tak terpenuhi. 

Sejatinya target pemasukan negara melalui pajak yang tak terpenuhi menjadi pengalihan paradigma sumber utama pendapatan APBN. Jauh berbeda dengan konsep ekonomi kapitalis, Islam mengajarkan agar pemasukan kas negara diperoleh dari pengelolaan Sumber Daya Alam yang Allah titipkan di bumi sebagai penopang hajah hidup manusia. Pun halnya dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika menjabat sebagai kepala negara dalam Daulah Islam yang beliau dirikan di Madinah. Sumber pendapatan negara didapat dari Baitul Maal yang dipungut melalui zakat, ushur, al-milkiyyah ‘amm, khums, rikaz, jizyah, ghanimah, kharaj, fa’i, shodaqoh, waqaf, dan sebagainya. (Kitab an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, 1990)


“Apa saja harta rampasan [fai-i] yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya”. (QS. Al-Hasyr : 7).
Islam memiliki regulasi yang sangat detail perihal pajak ini. Pajak hanya akan dipungut apabila negara benar-benar sedang mengalami defisit anggaran. Pemungutannya pun dibatasi hanya kepada orang-orang kaya yang hidup didalam negara. Daulah Islam tak akan sudi menetapkan kewajiban pajak kepada seluruh rakyat tanpa melihat strata ekonomi mereka, apalagi mengambil pinjaman luar negri (berbunga maupun tak berbunga) karena identik dengan perjanjian-perjanjian bathil yang mengikat. 
“Tanda-tanda sebuah pemerintahan (negara) akan hancur maka akan bertambah besarnya pajak yang dipungut” (Ibnu Khaldun, 1332-1406 M)

Mengembalikan fungsi utama eksistensi pesantren

Tahun 2017 lalu, pemerintah melalui Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) mendorong penguatan sektor riil ekonomi Syariah yang dianggap dapat memperlancar sektor keuangan syari’ah. Sektor riil tersebut mencakup berbagai bidang, seperti industri halal, pariwisata syariah dan industri makanan dan obat-obatan serta pakaian (fashion). 

Pun halnya dengan Bank Indonesia (BI). Akhir-akhir ini BI menggandeng pesantren-pesantren untuk turut serta mengembangkan roda perekonomian syari’ah. Menurut Kepala Kantor Perwakilan BI Jawa Tengah Hamid Ponco Wibowo, pesantren memang diaggap sangat potensial mengelola dan mengembangkan sistem perekonomian syari’ah. Apalagi didukung dengan jumlah pesantren yang cukup besar di Indonesia. Jika di provinsi Jawa tengah saja tercatat 4.400 jumlah pesantren, bagaimana jika dihitung jumlahnya dalam skala nasional?
Sebagaimana yang kita tahu, pesantren adalah salah satu warisan pangeran Diponegoro. Keberadaan pesantren yang menjadi basis massa perlawanan terhadap penjajahan yang berlangsung di Indonesia sebelum merdeka membuktikan bahwa pesantren adalah wadah edukasi dan pelopor kebangkitan umat muslim. 
Namun kini, pesantren seakan diberi beban ganda. Disatu sisi mengemban amanah sebagai wadah pendidik generasi, disisi lain diharuskan menggenjot roda perekonomian negri. Akibatnya sangat kontraproduktif dengan tujuan awal dibangunnya pesantren yang fokus menjadi wadah pendidikan Islami bagi anak negri. 
Tak peduli bagaimana tanggapan sebagian pihak bahwa pelibatan pesantren dalam mengelola sektor riil ekonomi syari’ah juga bagian dari pendidikan Islami demi kulturisasi enterpreunership dengan pola ekonomi syari’ah. Sebab nyatanya, dorongan kepada pesantren untuk mengembangkan sektor riil ekonomi syari’ah ini seakan hanyalah label yang memberi legalitas untuk ‘mengalihkan’ tanggangjawab mengurusi hak rakyat di bidang ekonomi.

Mengelola dan mengembangkan sektor riil artinya mewujudkan dengan nyata dan sukarela kebutuhan rakyat di lapangan. Inilah yang seharusnya menjadi tugas negara sebagai bentuk aktivitas ‘ri’ayah syu’unil ummah’.
Namun nyatanya kini, pemerintah seakan-akan hanyalah menjadi regulator penyambung kebutuhan rakyat dengan swasta sebagai penyedia jasa. Kedzaliman yang terus berulang ini terjadi seiring dengan pergantian pemimpin baru. Representasi pemerintah di atas parlemen dalam sistem demokrasi seperti tidak mewakili suara rakyat yang menjerit agar hak-hak nya dipenuhi.

Begitu juga, disisi lain seharusnya peran pesantren difungsikan kembali. Menjadi wadah kebangkitan umat melalui sektor pendidikan, yakni dengan adanya penanaman aqidah Islam dalam jiwa generasi, sehingga tak tergerus dengan ide sekulerisme yang akhir-akhir ini mengikis iffah, izzah, dan karakter mereka sebagai ‘uyunul ummah’.

​Lilitan Hutang dalam Jargon: “Pembangunan Infrastruktur”


Bulan Desember 2017 lalu, The New York Times melaporkan dalam kabar berita bertajuk "Sri Lanka, Struggling With Debt, Hands a Major Port to China" bahwa Sri lanka secara resmi menyerahkan pelabuhan strategis Hambantota ke China pada sewa 99 tahun pekan lalu. 

Sri lanka memang diketahui sangat berjuang keras membayar hutang-hutangnya kepada perusahaan-perusahaan Cina. Cina yang diketahui menjadi kekuatan kolonial baru itu kini menjadi negara peminjam terbesar ketiga setelah Singapura dan Jepang. Bahkan porsinya menyalip Amerika Serikat sejak tahun 2015. 

Banyak pakar ekonom di Indonesia yang akhirnya menyatakan dengan lantang agar Indonesia mengambil pelajaran dari apa yang dialami oleh Sri lanka. 

Namun disisi lain, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang Brodjonegoro menegaskan, Indonesia tidak khawatir mengalami kejadian seperti di Sri Lanka. Ia menegaskan bahwa keterlibatan Cina kepada Indonesia lebih kepada infrastruktur, bukan pinjaman. 

Sudah menjadi rahasia umum, pada era kepemimpinan Jokowi hutang Indonesia kepada negri tirai bambu itu diketahui terus meningkat sejak tahun 2015. Berdasarkan data yang dirilis di situs Bank Indonesia tercatat pada Juli, jumlah utang ke Negeri Tirai Bambu pada Mei 2017 sebesar 15,491 miliar dolar AS atau sekitar Rp 206 triliun. (Republika, 31/07/2017) 

Tak pelak, peningkatan jumlah utang ke Cina sejalan dengan naiknya nominal Utang Luar Negri (ULN) Indonesia. 

Utang luar negeri (ULN) Indonesia kuartal I-2018 tercatat US$ 358,7 miliar atau setara dengan Rp 5.021 triliun (kurs Rp 14.000). 

Mengutip data dari statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) periode Mei 2018 utang luar negeri pemerintah kuartal I tercatat US$ 181,13 miliar atau sekitar Rp 2.535,8 triliun. Jumlah ini meningkat dibandingkan periode Februari 2018 sebesar US$ 177,85 miliar. 

Adanya jalinan kemitraan antar negara, terutama negara-negara berkembang dengan negara yang memberi suplai pinjaman hutang luar negri ataupun bantuan pembangunan infrastruktur sejatinya tak ada yang berlainan. 

keduanya merupakan gaya baru penjajahan yang diimplementasikan melalui jalur ekonomi. Inilah yang akhirnya dinamakan dengan 'Sistem Ekonomi Neoliberal'. 

Tak ubahnya dengan Neoimperialisme, syahwat dari penjajahan tetaplah penguasaan sektor ekonomi negara yang terjajah. Salah satu trend penjajahan gaya baru ini memakai instrumen Utang Luar Negri (ULN) yang berbunga dan liberalisasi perdagangan. 

Masyarakat dewasa ini seharusnya mulai cerdas. Bentuk ULN yang dicanangkan kepada negara target penjajahan tidaklah mesti berbentuk dolar. Namun bisa saja melalui bantuan pembangunan infrastruktur dan jasa pengelolaan SDA. 

Maka tak jarang kita temui negara-negara yang 'tanpa sadar' mereka dijajah dengan model neoliberalisme melakukan privatisasi/penjualan BUMN, bahkan deregulasi campur tangan peran negara dalam layanan sosial (Public Service) seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. 

Peran negara yang terjajah kala itu hanya bagaikan regulator penyambung hajat hidup rakyatnya dengan perusahaan-perusahaan swasta yang notabene milik negara penjajah mereka. 

Sungguh, seeloknya perihal urgen semacam ini difahami oleh setiap negara. Dalam sistem ekonomi kapitalis, tak mengenal hubungan sosial atas nama persahabatan. Jalinan kemitraan yang dibangun antar negara sarat akan modal yang harus terbayarkan.