Jumat, 17 Agustus 2018

​Lilitan Hutang dalam Jargon: “Pembangunan Infrastruktur”


Bulan Desember 2017 lalu, The New York Times melaporkan dalam kabar berita bertajuk "Sri Lanka, Struggling With Debt, Hands a Major Port to China" bahwa Sri lanka secara resmi menyerahkan pelabuhan strategis Hambantota ke China pada sewa 99 tahun pekan lalu. 

Sri lanka memang diketahui sangat berjuang keras membayar hutang-hutangnya kepada perusahaan-perusahaan Cina. Cina yang diketahui menjadi kekuatan kolonial baru itu kini menjadi negara peminjam terbesar ketiga setelah Singapura dan Jepang. Bahkan porsinya menyalip Amerika Serikat sejak tahun 2015. 

Banyak pakar ekonom di Indonesia yang akhirnya menyatakan dengan lantang agar Indonesia mengambil pelajaran dari apa yang dialami oleh Sri lanka. 

Namun disisi lain, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang Brodjonegoro menegaskan, Indonesia tidak khawatir mengalami kejadian seperti di Sri Lanka. Ia menegaskan bahwa keterlibatan Cina kepada Indonesia lebih kepada infrastruktur, bukan pinjaman. 

Sudah menjadi rahasia umum, pada era kepemimpinan Jokowi hutang Indonesia kepada negri tirai bambu itu diketahui terus meningkat sejak tahun 2015. Berdasarkan data yang dirilis di situs Bank Indonesia tercatat pada Juli, jumlah utang ke Negeri Tirai Bambu pada Mei 2017 sebesar 15,491 miliar dolar AS atau sekitar Rp 206 triliun. (Republika, 31/07/2017) 

Tak pelak, peningkatan jumlah utang ke Cina sejalan dengan naiknya nominal Utang Luar Negri (ULN) Indonesia. 

Utang luar negeri (ULN) Indonesia kuartal I-2018 tercatat US$ 358,7 miliar atau setara dengan Rp 5.021 triliun (kurs Rp 14.000). 

Mengutip data dari statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) periode Mei 2018 utang luar negeri pemerintah kuartal I tercatat US$ 181,13 miliar atau sekitar Rp 2.535,8 triliun. Jumlah ini meningkat dibandingkan periode Februari 2018 sebesar US$ 177,85 miliar. 

Adanya jalinan kemitraan antar negara, terutama negara-negara berkembang dengan negara yang memberi suplai pinjaman hutang luar negri ataupun bantuan pembangunan infrastruktur sejatinya tak ada yang berlainan. 

keduanya merupakan gaya baru penjajahan yang diimplementasikan melalui jalur ekonomi. Inilah yang akhirnya dinamakan dengan 'Sistem Ekonomi Neoliberal'. 

Tak ubahnya dengan Neoimperialisme, syahwat dari penjajahan tetaplah penguasaan sektor ekonomi negara yang terjajah. Salah satu trend penjajahan gaya baru ini memakai instrumen Utang Luar Negri (ULN) yang berbunga dan liberalisasi perdagangan. 

Masyarakat dewasa ini seharusnya mulai cerdas. Bentuk ULN yang dicanangkan kepada negara target penjajahan tidaklah mesti berbentuk dolar. Namun bisa saja melalui bantuan pembangunan infrastruktur dan jasa pengelolaan SDA. 

Maka tak jarang kita temui negara-negara yang 'tanpa sadar' mereka dijajah dengan model neoliberalisme melakukan privatisasi/penjualan BUMN, bahkan deregulasi campur tangan peran negara dalam layanan sosial (Public Service) seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. 

Peran negara yang terjajah kala itu hanya bagaikan regulator penyambung hajat hidup rakyatnya dengan perusahaan-perusahaan swasta yang notabene milik negara penjajah mereka. 

Sungguh, seeloknya perihal urgen semacam ini difahami oleh setiap negara. Dalam sistem ekonomi kapitalis, tak mengenal hubungan sosial atas nama persahabatan. Jalinan kemitraan yang dibangun antar negara sarat akan modal yang harus terbayarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar