Rabu, 03 Oktober 2018

Rohingya dan jari-jari persatuan

Luar biasa!
Allah SWT menciptakan tubuh manusia dengan amat sangat sempurna. Pada bagian tangan saja misalnya, Allah pasang 5 jari di ujung pergelangan tangan dengan dihiasi kuku-kuku di setiap jari yang ada.

Sanking agungnya kuasa Allah dalam menciptakan manusia, dari memperhatikan jari saja sepatutnya manusia sudah bisa mengambil hikmah dan pelajaran berharga dalam menapaki kehidupan.

Ketika manusia leluasa menggenggam jari-jari yang lima, maka jika ia memukulkannya ke sebuah benda maka genggaman tadi menjadi kuat sebab mengeluarkan sebuah tenaga.

Dari memperhatikan jari saja, mengingatkan saya akan individu-individu kaum muslimin di bumi Allah yang jumlahnya tak terhitung banyaknya. Namun anehnya, kaum muslimin hingga detik ini tampak nyata terpuruk dan terpojokkan. Jauh dari predikat "Khoiru Ummah" yang difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur'an yang mulia.

Kita lihat.. peristiwa demi peristiwa dan kedzaliman demi kedzaliman senantiasa bersliweran menekan umat Baginda Muhammad di negri-negri mayoritas maupun minoritas Muslim.

Pada hari Senin (24/9/2018), AFP mewartakan bahwa Panglima militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing dalam media militer Myawady menyebut PBB tak mempunyai hak untuk mencampuri urusan negaranya.
Ia menuturkan bahwa Rohingya adalah etnis luar dengan menyebut mereka sebagai Bengalis, atau imigran dari Bangladesh. Dia bersikeras Undang-undang Kewarganegaraan 1982 di mana menghapus Rohingya dari daftar etnis yang diakui Myanmar bakal terus dijalankan.

Sebelumnya, misi pencari fakta PBB menerbitkan laporan setebal 444 halaman yang sudah mereka kumpulkan selama 18 bulan terakhir. Dalam laporannya, tim pencari fakta menyatakan militer Myanmar telah melakukan genosida, dan harus dihadapkan pada Mahkamah Kriminal Internasional (ICC). (Kompas, 24/09/2018)

Kita lihat begitu telanjangnya umat Muslim di Palestina, Suriah, Afghanistan, Iran, Irak, Moro, Rohingya, Xinjiang, hingga Indonesia menjadi sasaran empuk kebijakan dzalim penguasa boneka Barat.

Berbagai penderitaan dialami umat muslim sebab umat ini berdiri sendiri-sendiri. Mereka tak punya junnah, mereka tak punya kekuatan. Kondisi mereka bagaikan sebuah jari yang berusaha menghancurkan sebuah benda. Bagaimana bisa? sebab hanya 1 jari saja tak punya kekuatan menghancurkan benda yang keras. Artinya, tanpa persatuan umat muslim, tanpa adanya institusi Daulah Islam yang berdikari melindungi umat Nabi SAW selamanya Muslim tak akan lepas dari kekerasan dan kedzaliman, nyawa mereka begitu murah dihadapan musuh-musuh Allah da Rasul-Nya.

Padahal Rasulullah SAW pernah bersabda lewat lisan mulianya:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ. 
"Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim". [Shahîh. HR an-Nasâi (VII / 82), dari 'Abdullah bin' Amr. Diriwayatkan juga oleh at-Tirmidzi (no. 1395). Hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan an-Nasâi dan lihat Ghâyatul- Marâm fî Takhrîj Ahâdîtsil-Halâl wal-Harâm (no. 439)].

Wahai Umat Muslim! Bayangkan jika umat ini bersatu bagaikan jari-jari yang menggenggam satu sama lain, maka secara otomatis ia akan mengumpulkan sebuah kekuatan yang bisa mendobrak atau menghancurkan sesuatu.

Begitu pula dengan umat Rasulullah Muhammad di Bumi ini. Ketika mereka bersatu padu, memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang satu, maka secara otomatis pula mereka akan kuat. Darah, harta, dan kehormatan mereka dilindungi oleh negara yang menerapkan hukum-hukum Allah sebagaimana dahulu Rasulullah dan para Khalifah melindungi kehormatan umat muslim dalam Daulah Islam.

Tak ada lagi musuh-musuh Allah yang berani menguasai umat Nabi akhir zaman ini dan kaum muslimin segera mencapai kemuliaannya kembali sebagaimana dahulu umat muslim pernah dimuliakan dengan adanya penerapan syari'at Islam oleh Daulah Khilafah Islam.

Sistem kapitalis sekuler: Rahim para kriminal berjas

 "Ada kekuatan yang tidak kelihatan yang membuat regulasi yang terkait dengan pencegahan korupsi itu seolah-olah enggak berfungsi," kata Dadang Trisasongko, pegiat antikorupsi dari Transparency International Indonesia (TII) kepada BBC News Indonesia, Minggu (09/09) malam. 

Rentetan 2 kasus korupsi massal yang diduga melibatkan 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang, Jatim sebagai tersangka dugaan suap pembahasan APBD Perubahan 2015 dan kasus 51 anggota DPRD Provinsi Jambi yang diduga telah menerima suap senilai Rp9 miliar dari gubernur nonaktif Jambi, Zumi Zola, sebagai uang 'ketuk palu' untuk menyetujui Raperda APBD 2017  sebagaimana yang dilaporkan BBC.com pada 10 September 2018 jelas memunculkan tanggapan dari politisi maupun aktivis antikorupsi negri. 

Politikus Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean mengatakan kepada BBC News Indonesia, Minggu (09/09) malam bahwa transparansi proses kasus tersebut tidak ada sebab publik tidak bisa mengawasi.
Ia mengatakan bahwa sangat dibutuhkan cara yang efektif untuk memberantas hal ini seperti dengan penghukuman yang lebih keras dan tegas. 

Begitu pula pegiat antikorupsi dari Transparency International Indonesia (TII), Dadang Trisasongko, mengatakan praktik suap yang diduga melibatkan anggota DPRD dan pimpinan daerah akan terus terulang selama sistem pencegahannya tidak berjalan efektif, sebab dapat menimbulkan "proses gelap" yang hanya melibatkan DPRD dan pemerintah daerah. (BBC News Indonesia, 09/09/2018) 

Statemen yang dilontarkan politisi maupun aktivis antikorupsi dalam negri sebagaimana diatas memang benarlah adanya. 
"Ada kekuatan yang tidak kelihatan yang membuat regulasi yang terkait dengan pencegahan korupsi itu seolah-olah enggak berfungsi," 

Tentu "Kekuatan" yang dimaksud adalah kekuatan besar yang mendasar. Kekuatan yang mengendap di alam bawah sadar, mendarah daging, dan secara spontan dapat menggerakkan seseorang. 
Dalam Kitab At-Taghyir karya Mahmud Abdul Karim Hassan dikatakan, "Sesungguhnya perbuatan-perbuatan manusia senantiasa tergantung pemahaman-pemahaman nya akan sesuatu (mafahim 'anil asya') dan pemahaman-pemahamannya akan kehidupan (mafahim 'anil hayah)." 
Hal ini mengindikasikan bahwa seseorang tidak mungkin melakukan suatu tindakan tanpa ada pemahaman kuat yang mendorong nya berbuat demikian, pemahaman inilah yang dinamakan Ideologi. Sebab darinya akan terpancar konsep dan penerapan konsep yang menggerakkan individe, masyarakat, maupun sebuah institusi negara. 

Dilansir dari situs Merdeka.com pada tahun 2015, kasus korupsi pertama di Indonesia terjadi pada masa Orde Baru, yakni ketika kebijakan yang sebelumnya didasarkan kepada daerah masing-masing diubah dengan sistem sentralistik. Kondisi itu menyebabkan terjadinya kongkalikong antara pengusaha dan birokrat agar cepat merealisasikan permintaan mereka.  

Kasus korupsi merupakan problem yang sejak dahulu sangat sukar diberantas. Pasalnya, Ideologi yang mendominasi bumi pertiwi mendorong setiap individunya untuk meraup keuntungan sebanyak mungkin tanpa peduli dengan hak-hak orang lain dan akibat yang ditimbulkannya, yakni sistem Kapitalis sekuler. 

Kapitalisme atau Kapital adalah sistem ekonomi di mana perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik swasta dengan tujuan memperoleh keuntungan dalam ekonomi pasar. Pemilik modal dalam melakukan usahanya berusaha untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Dengan prinsip tersebut, pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna memperoleh keuntungan bersama, tetapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untuk kepentingan-kepentingan pribadi.  

Sedangkan Sekularisme atau sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan negara harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan (Wikipedia.org) 

Maka jelaslah, bahwa sebuah negara yang berdiri atas dasar kapitalisme dan pemisahan agama dari institusi negara menjadi sarang bercokolnya para penguasa dzalim yang gemar melakukan kriminalitas terhadap rakyatnya. 

Mengenai ketidakadaan transparansi proses kasus tersebut yang menjadi sebab publik tidak bisa mengawasi, maka sesungguhnya tanpa transparansi pun proses penguraian sebuah kasus bisa berjalan secara konstitusional. Hal ini terjadi sepanjang masa Daulah Khilafah yang menerapkan dengan tegas setiap kebijakan 'uqubat terhadap para penindak kejahatan. Sebab Daulah mengaplikasikan Syari'at pencipta manusia dalam kehidupan bernegara. 

"Maka kekuasaan dan agama adalah saudara kembar. Agama adalah pondasi/pokok-nya (ushul) sedangkan penguasa adalah penjaganya. dan apa-apa yang tidak ada pondasinya maka dia akan runtuh sedangkan apa-apa yang tidak memiliki penjaga maka dia akan lenyap. Tidak sempurna kekuasaan dan kontrol kecuali dengan penguasa (sulthon) dan metode untuk menyelesaikan masalah hukum dengan fikih (pengetahuan agama) sebagaimana untuk pengaturan manusia (siyasah kholq) bukan bagian aspek utama agama tetapi keberadaan dia pada posisi tertentu dimana tidak sempurna agama kecuali dengan hal itu (siyasah kholq)" (Imam Al-Ghazali, Kitab Ihya ulumuddin, Bab Ilmu bagian kedua tentang fardhu ‘ain fardhu kifayah) 

Menghijrahkan Indonesia

Berkembangnya gerakan hijrah di Indonesia belakangan cukup menyita perhatian sebagian umat Islam. Berbagai trend hijab syar'i dan kajian islami mulai menjadi sorotan yang tak dapat ditutup-tutupi. Baik di dunia maya, hingga terepresentasi di dunia nyata.

Namun sayang, opini hijrah yang seringkali tayang di hadapan masyarakat, hanya bermakna individual yang minim cakupan. Terbatas pada kehidupan pribadi dan masyarakat, namun enggan membahas hingga hirarki kenegaraan.

Seharusnya umat disadarkan dan saling menyadarkan, bahwa Islam merupakan kebenaran yang tak terbantahkan. Doktrin logis yang tak terpatahkan.

Islam perintahkan pada manusia untuk menjadi khalifah di bumi Allah
(Qs. 2:30) dan menerapkan segala apa yang Ia perintahkan (Qs. 12:40). Sebab, hanya Ia lah pemilik alam raya (Qs. 7:54). Manusia hanyalah makhluk ciptaan, yang diperintahkan untuk tunduk dan patuh kepada-Nya (Qs. 51:56).

Indonesia adalah negri yang kaya akan penduduk muslimnya. Namun sayang, didalamnya tak kita temui penerapan hukum Islam secara menyeluruh dan sempurna. Syari'at Allah hanya dipraktikkan dalam masalah ibadah mahdhoh, nikah, dan talak semata. Jauh dari makna "Kaffah" sebagaimana Rasul contohkan.

Hukum Allah laksana prasmanan yang bebas diambil dan ditangguhkan dengan alasan toleransi dan atas nama kebebasan. Maka tak heran jika kita temui berbagai kerusakan di berbagai lini kehidupan. Mulai dari individu, masyarakat, hingga penguasa tak punya ketaqwaan. Keterikatan terhadap hukum syara' tak lagi menjadi pijakan dalam menjalankan pemerintahan. Mindset sekuler kapitalistik nampak mendarah daging dalam jiwa dan pikiran. Akibatnya, saat terjadi kasus kriminal berjamaah oleh penguasa terhadap kepentingan rakyat, muncul statement dungu yang menggelikan dan sangat kental aroma paham yang jauh dari Islam.

"Memang kita tidak bisa mengawasi selama 24 jam terhadap kader kita. Ada saja yang 'bolong' seperti yang terjadi di Malang yang bahkan berjamaah, kita masih memikirkan bagaimana cara yang efektif apakah dengan penghukuman yang lebih keras dan tegas," (BBC News Indonesia, 09/09/2018)

Tidak pernahkah pemimpin negri ini memikirkan? Sungguh Islam memiliki seperangkat aturan yang termaktub dalam kalam agung bernama Al-Qur'an.
Penerapan syari'at Islam membidani lahirnya individu-individu berkualitas yang amanah dan bertanggungjawab. Sebab, negara menjalankan fungsinya sebagai penjaga suasana keimanan penguasa dan masyarakat, sehingga kemaksiyatan dengan mudah terminimalisir.

Sebagaimana Islam yang dahulu pernah terimplementasikan dalam kehidupan, merangkul umat manusia dengan kemakmuran dan kesejahteraan, sebab setiap penguasa output pendidikan Islam dalam Daulah Khilafah faham akan sabda Nabi SAW:

“Imam (Khalifah) adalah seperti seorang Penggembala dan dia bertanggung jawab atas masyarakatnya” [Al-Bukhari]

Maka dari itu, sudah seharusnya di momen tahun baru hijriyah ini, segenap kaum muslimin memahami akan urgensitas "Menghijrahkan Indonesia" dari penerapan hukum sekuler-kapitalistik kepada syari'at Islam nan mulia yang bersumber dari pencipta manusia, Allah Subhanahu wa Ta'ala.

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [Qs. al-Mâ`idah: 50)

Islam Nusantara berkedok Wasathiyyah

Jika model pelemahan umat muslim di Timur Tengah menggunakan bom rudal dan seperangkat gencatan senjata canggih, di Barat muslim distigmakan teroris radikalis, tak jauh berbeda dengan di Indonesia. Ada saja cara-cara pendangkalan aqidah umat muslim yang digencarkan oleh otak kotor orang-orang liberal cetakan Barat.

Mungkin sangat akrab ditelinga umat Muhammad di negri ini mengenai macam-macam sekte Islam yang banyak beredar. Mulai dari Islam liberal, Islam moderat, hingga yang belakangan mencuat kontroversi panas yakni "Islam Nusantara".

Namun mereka tak tinggal diam. Dikala para penentang teori Islam nusantara semakin berkembang sebab banyak ulama-ulama hanif nan muskhlis meluruskan, orang-orang liberal didikan barat yang bercokol di bumi Indonesia dan menjadi musuh dalam selimut umat Islam ini memunculkan gaung Islam yang lebih 'soft' ketimbang produk Islam ala mereka sebelumnya.

Islam model baru ini lebih manis di telinga namun amat sangat membahayakan, bahkan bisa menimbulkan perpecahan di tubuh umat Islam. Tak tanggung-tanggung, landasannya mereka pelintir dari kalam Allah yang termaktub dalam Al-Qur'an:
"وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَکُوْنُوْا شُهَدَآءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا  ۗ ..."
"Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu ..." (Qs. Al-Baqarah: 143)

Dari potongan firman Allah berbunyi "اُمَّةً وَّسَطًا" inilah mereka racik Islam model baru bertajuk "Islam Wasathiyah".
Menurut mereka, Islam Wasathiyah merupakan kunci perdamaian dunia, sebab menjadikan umat muslim berada di jalan tengah, tak terlalu fanatik dengan keislamannya.

Sebab lemahnya 'Wa'yu Siyasi' masyarakat terhadap model penjajahan Barat baru kepada para pemeluk Islam, kebanyakan masyarakat cenderung mengikuti arus dan menelan mentah-mentah racun berbalut madu ini. Mereka latah mengatakan Islam jalan tengah, Islam yang toleran, dan beribu statement beralasan yang cingkrang landasan.

Padahal makna "Wasathan" dalam ayat tersebut harus difahami secara keseluruhan melalui penjelasan kalimat selanjutnya: "لِّتَکُوْنُوْا شُهَدَآءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا" agar memiliki makna lain yang lebih komprehensif, sebab berfungsi sebagai qarinah (indikasi) yang menjelaskan makna dari frase ummatan wasathan.

Abu Sa'id al-Khudri ra. berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: "Al-Wasath adalah al-'Adlu (adil)" (HR. Bukhari, Tirmidzi, Ahmad).
Sebagaimana dalam Al-Qur'an dijelaskan hakikat 'adil:
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُم
Dan persaksikanlah dengan 2 orang saksi yang adil di antara kamu (QS At-Tholaq: 2).
'Adil bermakna bahwa umat Islam berlaku lurus dalam menjalankan perintah Allah dan RasulNya, dan menjauhi semua yang dilarang oleh Allah SWT dan RasulNya. Ummat Islam akan konsisten dengan hukum-hukum Islam.

Gema Islam Wasathiyyah mengingatkan kita pada salah seorang penjajah berbalut panggilan ulama bernama "Snouck Hurgronje" yang sengaja dikirim Barat untuk menyesatkan muslim di Indonesia pada era penjajahan Belanda.

"Bagi Snouck Hurgronje musuh politik kolonial bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik" (seraamedia.org, 03/08/2018)

Snouck Hurgronje hadir di Bumi Nusantara. Namanya digelari "Ustadz", derajatnya diagung-agungkan, bahkan dijadikan salah seorang penasehat urusan pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda (sekarang Indonesia), sebab ketinggian hirarki potensinya yang hafal qur'an, fasih berbahasa Arab, serta keramahannya dan naluri intelektualnya yang membuat para ulama tak segan membimbingnya. Namun nyatanya, masuk Islamnya Snouck hanyalah hipokrit belaka.

Melihat sepak terjang Snouck dalam mengoyak aqidah dan upayanya dalam menggagalkan kebangkitan umat Islam di bumi nusantara seharusnya menjadikan kita sadar betul, bahwa tujuan pencetusan Islam Wasathiyyah pun sama halnya dengan kedatangan Snouck ke negri ini di era penjajahan Belanda.

Penyeru Islam Wasathiyah di Indonesia pun nyatanya adalah mereka -para ulama- yang notabene menjadi rujukan dan panutan kaum muslim dalam menjalankan ad-Diinul Islam. Tapi ulama yang menjadi catatan disini adalah mereka yang memang sudah dipesan oleh Barat untuk meluncurkan gema Islam wasathiyyah, merekalah orang-orang liberal didikan Barat.

Sebagaimana yang dapat kita fahami dari petikan informasi berfilosofi dalam prawacana RAND CORPORATION berbunyi: "Merancang bijaksana memerlukan pendekatan yang halus berbutir pemahaman
sedang berlangsung perjuangan ideologis dalam Islam, untuk mengidentifikasi mitra yang tepat dan
tetapkan tujuan yang realistis dan sarana untuk mendorong evolusi dalam cara yang positif. Amerika Serikat memiliki tiga tujuan dalam hal politisasi Islam. Pertama, ia ingin
mencegah penyebaran ekstremisme dan kekerasan. Kedua, dalam melakukannya, perlu
menghindari kesan bahwa Amerika Serikat adalah "bertentangan dengan Islam." Dan ketiga, di
semakin lama berjalan, ia harus menemukan cara untuk membantu anda, dalam bidang ekonomi, sosial,
dan politik menyebabkan makan radikalisme Islam dan untuk mendorong bergerak ke arah
pembangunan dan demokratisasi."

Sangat jelas terlihat bahwa Barat mengerahkan segala daya upaya nya untuk terus meracuni Islam, mempolitisasi Islam. Ini adalah cara paling halus dan ampuh membius umat muslim di negri-negri muslim yang bebas ketegangan konflik bersenjata dari upayanya mencerahkan masa depan dunia Islam dalam penegakan institusi Daulah Islam.

Maka, sudah sepatutnya umat muslim sadar. Bahwa beban hidup dengan identitas muslim hari ini sungguh sangat berat. Berbagai serangan pemikiran berupa deislamisasi berbalut istilah Islam Wasathiyyah dan upaya-upaya penyudutan ajaran Islam beserta pemeluknya menjadi tantangan yang harus dihadapi umat Islam dewasa ini.

Umat harus sadar pula akan urgensitas berjuang menegakkan Syari'at Allah di muka bumi melalui sebuah institusi, yakni perjuangan penegakan Islam secara kaffah. Sebab akar terjadinya beragam problematika ummat semenjak runtuhnya Institusi Khilafah pada 3 Maret 1924 adalah tidak adanya penerapan Syari'at Islam dalam naungan Daulah Islam, kaum muslimin tidak memiliki junnah yang dapat mewujudkan Islam rahmatan Lil 'alamin yang dengannya dapat melindungi umat muslim dan umat beragama lainnya yang mau tunduk pada Syari'at Islam.

Senin, 20 Agustus 2018

Reposisi peran ulama dalam sistem demokrasi

Sejak terjadi kasus penghinaan surah Al-Maidah: 51, masyarakat tampaknya mulai merasa memiliki kepentingan dalam menjaga ad-Diin al-Islam dari serangan jahat orang-orang yang membencinya. Baik membenci agamanya, maupun pemeluknya.

Terbukti dari pembelaan mereka terhadap persekusi-persekusi kajian keislaman dan kriminalisasi ulamanya yang kerap ditemui diberbagai daerah di nusantara.

Bahkan, ketika menghadapi carut marutnya negri ini dibawah kungkungan pemimpin sekular, masyarakat yang tersadarkan akan kebutuhan peran ulama dalam menerapkan Islam sebagai pengatur tata kehidupan, sangat lantang mereka bersuara agar ulama menjadi calon pemimpin yang diharapkan dapat membawa perubahan bagi Indonesia.

Belakangan, kabarnya masyarakat mulai ramai-ramai mencanangkan Ustadz Abdul Somad untuk maju ke panggung politik dengan menjadi cawapres salah satu calon presiden dari partai Gerindra, Prabowo Subianto.
Tak pelak, hal ini mengundang gelindingan isu terbaru yang membuat publik dilema dan bertanya "Kemana arah peran ulama sesungguhnya?"

Muncullah "a new statement" yang memberikan sinyal agar ulama tak berkecimpung di ranah politik. Sebab menurut mereka politik itu kotor sedang agama itu suci. Perlahan dalang pemegang kendali opini negri ini menggiring publik agar memposisikan ulama hanya sebatas penceramah dan pemberi nasihat.

Inkonsistensi ini yang akhirnya membuat masyarakat yang tersadarkan berfikir jeli. Jika kajian keislaman saja sering dibubarkan, dakwah sering dijegal, ulamanya sering di fitnah, umat Islam dibuat tertekan, namun disisi lain ketika masyarakat menginginkan peran ulama diperluas (tak sekedar dalam aktivitas dakwah) muncullah statement yang menyempitkan eksistensi peran ulama, inikah pertanda gejala mental pengecut merasuki para penguasa boneka barat?

Tak ada yang mendha'ifkan. Barat adalah negara adikuasa yang mempunyai kekuasaan lebih di percaturan politik internasional baik dalam mempengaruhi peristiwa-peristiwa global maupun lebih jauh mengambil keputusan dalam proyek-proyek internasional. Setiap penguasa boneka yang sengaja dipasang untuk berhadapan langsung dengan masyarakat pasti tunduk dan patuh dengannya.

Musuh-musuh Islam sangat hafal, bahwa eksistensinya akan sirna tatkala umat Islam sedikit-demi sedikit mulai bangkit. Maka segala upaya asasi untuk meredamnya adalah dengan menggelindingkan bola isu yang mengalihkan umat Islam dari upaya-upaya kebangkitan.

Maka, sudah seeloknya ulama hari ini melakukan reposisi atas peran utamanya. Ulama harus sadar, bahwa keberadaannya adalah pewaris para nabi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu ‘anhu)

Sebagaimana Rasulullah memberi teladan, peran seorang nabi bukanlah sekedar mendakwahkan Islam melalui kajian-kajian. Tapi juga ikut serta dalam berpolitik yang dalam Islam maknanya melakukan ri'ayatus syu'unil ummah, mengurusi urusan ummat, menyelamatkan sebuah negri yang didalamnya merebak berbagai kemaksiyatan agar berubah menjadi 'baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur' dengan regulasi Islam dalam undang-undang negara.

“Wajib diketahui bahwa kepemimpinan yang mengurus urusan manusia termasuk kewajiban agama yang paling besar, bahkan agama dan dunia tidaklah tegak kecuali dengannya. Segala kemaslahatan manusia tidaklah sempurna kecuali dengan memadukan antara keduanya, di mana satu sama lain saling menguatkan." (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyyah, Hal. 169. Mawqi’ Al Islam)

Berpolitik seperti apakah yang harus dilakukan oleh para ulama? Tentunya berpolitik ala Islam yang mengikuti Rasulullah yang setiap langkah dan keputusannya merupakan interpretasi penunjukan wahyu, bukan politik praktis ala demokrasi yang sarat akan intrik. Karena dalam demokrasi, korelasi yang terjalin antar individu maupun antar kelompok adalah 'koalisi pebisnis' yang akan langgeng jika ada kepentingan & keuntungan didalamnya.

Menelaah perjalanan dakwah Rasulullah  SAW, secara historis beliau bukan hanya melakukan pembinaan intensif kepada para sahabat untuk menguatkan aqidah dan keimanan mereka, tapi juga terus melakukan aktivitas politik berupa pergolakan pemikiran ditengah-tengah ummat, membenturkan fakta bobroknya sistem jahiliyah yang dipertahankan para pembesar Qurays pada waktu itu dan secara bersamaan menggambarkan sistem tata aturan Islam dalam mengatur manusia.

Tak berhenti disana. Ketika dakwah pada saat itu belum berhasil dilakukan di Makkah, hijrah ke Madinah adalah langkah berikutnya yang diambil Rasulullah untuk menyelamatkan para pemeluk Islam dari kalangan muhajirin dan mendirikan Daulah Islam pertama dengan Rasulullah sebagai pemimpinnya.

"Sepanjang sejarah kaum muslimin tidak pernah mengenal adanya pemisahan antara agama dan dunia, agama dan politik, atau agama dan Negara seperti sekarang ini. Dulu, Rasulullah adalah pemegang kekuasaan baik agama maupun dunia, karena itu fuqaha kemudian membagi ajaran dan sikap Rasulullah menjadi tiga. Pertama. Beliau sebagai Nabi yang menyampaikan wahyu Allah. Kedua. Beliau sebagai hakim yang membuat keputusan hukum. Ketiga. Beliau sebagai kepala Negara yang menangani persoalan bangsa.” (Meluruskan Dikotomi Agama Dan Politik, Hal. 143. Pustaka Al Kautsar)

Jumat, 17 Agustus 2018

APBN ditopang pajak: Negara diambang kehancuran!

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan bahwa tahun depan pendapatan negara akan menembus Rp2.000 triliun untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Prediksi itu berdasarkan target kenaikan sebesar 15% atas target penerimaan tahun ini sebesar Rp 1.903,8 triliun.
Beliau menjelaskan, bahwa penerimaan tersebut ditopang oleh penerimaan Negara Bukan Pajak dari harga minyak yang meningkat dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar. 
Hal ini tentu memberikan kesimpulan bahwa kepatuhan masyarakat terhadap pembayaran pajak tergolong rendah. mengacu pada penjelasan Menteri keungan mengenai penerimaan pajak tahun ini sendiri yang masih mengalami shortfall, atau kurang dari target, hanya 95,69% dari target Rp1.618,1 triliun. (BBC.com, 20/07/2018)
Berdasarkan penjelasan Kemenkeu, Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Oleh karena itu, pajak sangat dominan dalam menopang pembangunan nasional. Maka tak heran jika urusan pajak adalah urusan paling sensitif ketika targetnya tak terpenuhi. 

Sejatinya target pemasukan negara melalui pajak yang tak terpenuhi menjadi pengalihan paradigma sumber utama pendapatan APBN. Jauh berbeda dengan konsep ekonomi kapitalis, Islam mengajarkan agar pemasukan kas negara diperoleh dari pengelolaan Sumber Daya Alam yang Allah titipkan di bumi sebagai penopang hajah hidup manusia. Pun halnya dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika menjabat sebagai kepala negara dalam Daulah Islam yang beliau dirikan di Madinah. Sumber pendapatan negara didapat dari Baitul Maal yang dipungut melalui zakat, ushur, al-milkiyyah ‘amm, khums, rikaz, jizyah, ghanimah, kharaj, fa’i, shodaqoh, waqaf, dan sebagainya. (Kitab an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, 1990)


“Apa saja harta rampasan [fai-i] yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya”. (QS. Al-Hasyr : 7).
Islam memiliki regulasi yang sangat detail perihal pajak ini. Pajak hanya akan dipungut apabila negara benar-benar sedang mengalami defisit anggaran. Pemungutannya pun dibatasi hanya kepada orang-orang kaya yang hidup didalam negara. Daulah Islam tak akan sudi menetapkan kewajiban pajak kepada seluruh rakyat tanpa melihat strata ekonomi mereka, apalagi mengambil pinjaman luar negri (berbunga maupun tak berbunga) karena identik dengan perjanjian-perjanjian bathil yang mengikat. 
“Tanda-tanda sebuah pemerintahan (negara) akan hancur maka akan bertambah besarnya pajak yang dipungut” (Ibnu Khaldun, 1332-1406 M)

Mengembalikan fungsi utama eksistensi pesantren

Tahun 2017 lalu, pemerintah melalui Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) mendorong penguatan sektor riil ekonomi Syariah yang dianggap dapat memperlancar sektor keuangan syari’ah. Sektor riil tersebut mencakup berbagai bidang, seperti industri halal, pariwisata syariah dan industri makanan dan obat-obatan serta pakaian (fashion). 

Pun halnya dengan Bank Indonesia (BI). Akhir-akhir ini BI menggandeng pesantren-pesantren untuk turut serta mengembangkan roda perekonomian syari’ah. Menurut Kepala Kantor Perwakilan BI Jawa Tengah Hamid Ponco Wibowo, pesantren memang diaggap sangat potensial mengelola dan mengembangkan sistem perekonomian syari’ah. Apalagi didukung dengan jumlah pesantren yang cukup besar di Indonesia. Jika di provinsi Jawa tengah saja tercatat 4.400 jumlah pesantren, bagaimana jika dihitung jumlahnya dalam skala nasional?
Sebagaimana yang kita tahu, pesantren adalah salah satu warisan pangeran Diponegoro. Keberadaan pesantren yang menjadi basis massa perlawanan terhadap penjajahan yang berlangsung di Indonesia sebelum merdeka membuktikan bahwa pesantren adalah wadah edukasi dan pelopor kebangkitan umat muslim. 
Namun kini, pesantren seakan diberi beban ganda. Disatu sisi mengemban amanah sebagai wadah pendidik generasi, disisi lain diharuskan menggenjot roda perekonomian negri. Akibatnya sangat kontraproduktif dengan tujuan awal dibangunnya pesantren yang fokus menjadi wadah pendidikan Islami bagi anak negri. 
Tak peduli bagaimana tanggapan sebagian pihak bahwa pelibatan pesantren dalam mengelola sektor riil ekonomi syari’ah juga bagian dari pendidikan Islami demi kulturisasi enterpreunership dengan pola ekonomi syari’ah. Sebab nyatanya, dorongan kepada pesantren untuk mengembangkan sektor riil ekonomi syari’ah ini seakan hanyalah label yang memberi legalitas untuk ‘mengalihkan’ tanggangjawab mengurusi hak rakyat di bidang ekonomi.

Mengelola dan mengembangkan sektor riil artinya mewujudkan dengan nyata dan sukarela kebutuhan rakyat di lapangan. Inilah yang seharusnya menjadi tugas negara sebagai bentuk aktivitas ‘ri’ayah syu’unil ummah’.
Namun nyatanya kini, pemerintah seakan-akan hanyalah menjadi regulator penyambung kebutuhan rakyat dengan swasta sebagai penyedia jasa. Kedzaliman yang terus berulang ini terjadi seiring dengan pergantian pemimpin baru. Representasi pemerintah di atas parlemen dalam sistem demokrasi seperti tidak mewakili suara rakyat yang menjerit agar hak-hak nya dipenuhi.

Begitu juga, disisi lain seharusnya peran pesantren difungsikan kembali. Menjadi wadah kebangkitan umat melalui sektor pendidikan, yakni dengan adanya penanaman aqidah Islam dalam jiwa generasi, sehingga tak tergerus dengan ide sekulerisme yang akhir-akhir ini mengikis iffah, izzah, dan karakter mereka sebagai ‘uyunul ummah’.